Rabu, 14 Desember 2011

SINERGI KIMIA KOMPUTASI TERHADAP RISET KIMIA

Dengan desain obat merupakan proses iteratif yang dimulai dengan senyawa yang menjukkan sifat aktif biologis yang penting dan diakhiri dengan mengoptimasi baik profil aktivitas molekul maupun sintesis kimianya. Proses ini dapat berjalan jika kimiawan menghipotesiskan suatu kaitan struktur kimia dengan suatu molekul dengan aktivitas biologisnya. Tanpa pengetahuan yang rinci tentang proses biokimia maka hipotesis akan diambil berdasar kemiripan strukutur serta perbedaan molekul aktif dan tak aktif. Alternatif untuk dapat mengoptimasi senyawa dalam molekul diskriptor yang dpat diprediksi sifatnya secara mudah maka digunakan komputasi untuk menujukkan tentang sifat tersebut yang digunakan untuk menujukkan sintesis kimia untuk senyawa yang berdaya guna.

Membuat sebuah ide menjadi kenyataan memang membutuhkan sebuah pengorbanan dan biaya yang juga tidak sedikit. Salah satunya adalah jika kita akan membuat obat dari suatu senyawa kimia membutuhkan biaya sekitar US$ 800 juta ( DiMasi dkk, 2003 ). Biaya yang sangat besar, apalagi jika dikaitkan dengan kemampuan ekonomi sebuah negara berkembang seperti Indonesia. Strategi yang efektif dan efisien secara ekonomi sangat diperlukan untuk membuat Indonesia juga ikut diperhatikan dalam penemuan obat-obatan.

Salah satu cara yang dapat digunakan adalah dengan menggunakan komputer sebagai alat bantu dalam penemuan obat. Kemampuan komputasi yang meningkat secara eksponensial merupakan peluang untuk mengembangkan simulasi dan kalkulasi dalam merancang obat. Komputer memberikan metode in silico sebagai komplemen metode in vitro dan in vivo yang biasa digunakan dalam proses penemuan obat. Terminologi in silico, analog dari in vitro dan in vivo, merujuk pada pemanfaatan komputer dalam studi penemuan obat.

Alasan menariknya menggunakan komputer adalah efisiensi biaya. Dengan adanya sebuah komputer yang dilengkapi dengan aplikasi atau software kimia komputasi yang mendukung, oleh ahli kimia komputasi medisinal yang berpengalaman dapat memperlihatkan suatu senyawa secara tiga dimensi ( 3D ) dan melakukan komparasi dengan senyawa-senyawa lain yang sudah diketahui memiliki aktivitas tinggi. Berdasarkan komparasi 3D yang dilengkapi dengan perhitungan similaritas dan energi dapat memberikan gambaran bagian-bagian dan gugus-gugus potensial yang dapat dikembangkan dari senyawa dalam kurkumin. Kemudian berbagai senyawa turunan dan analog disintesis secara in silico atau digambar sesuai persyaratan aplikasi komputer yang digunakan yang untuk selanjutnya disebut senyawa hipotetik.

Pengaruh ukuran molekul pada aktivitas kurkumin dan turunannya sebagai inhibitor glutation S-transferase ( GST ). Hubungan kuantitatif struktur-aktivitas ( HKSA ) kurkumin dan turunannya sebagai inhibitor glutation S-transferase ( GST ) pernah diteliti dengan menggunakan muatan bersih atom sebagai prediktor, namun pengaruh ukuran molekul tidak diperhitungkan dalam penelitian tersebut. Ukuran molekul erat kaitannya dengan parameter sterik ( Es ) yang merupakan salah satu parameter pada analisis HKSA metode Hansch. Meski demikian, fleksibilitas perubahan konformasi molekul obat dan molekul reseptor juga turut berperan dalam kemampuan penetrasi molekul ke sisi aktif enzim. Oleh karena itu, perlu diteliti pengaruh ukuran molekul pada aktivitas kurkumin dan turunannya sebagai inhibitor GST.

Tujuan penelitian ini adalah mengetahui pengaruh ukuran molekul pada aktivitas senyawa-senyawa turunan kurkumin sebagai inhibitor GST. Penelitian ini menggunakan ukuran molekul berupa luas permukaan molekul dan volume molekul yang didapat dengan menggunakan pendekatan kimia komputasi sebagai variabel bebas, dan konsentrasi inhibitor ( kurkumin dan turunannya ) yang menghasilkan 50 % penghambatan aktivitas GST ( IC50 ) sebagai variabel tergantung.
Ukuran molekul sebagai representasi parameter sterik ( Es ) relatif tidak berpengaruh pada aktivitas kurkumin dan turunannya sebagai inhibitor GST dibandingkan dengan parameter elektronik. Hubungan antara ukuran molekul kurkumin dan turunannya dengan aktivitasnya sebagai inhibitor GST cenderung kuadratik. Kurkumin dan turunannya optimal sebagai inhibitor GST pada senyawa yang memiliki luas permukaan molekul antara 410 - 460 Å2 dan atau memiliki volume molekul antara 350 - 400 Å3.

Dalam hal ini komputer membantu untuk mereduksi jumlah senyawa yang diusulkan secara rasional dan diharapkan lebih efektif serta membantu mempelajari interaksi obat dengan targetnya, bahkan kemungkinan sifat toksis senyawa tersebut dan metabolitnya. Dalam waktu satu tahun, Indonesia harus mengimpor alat untuk elusidasi struktur yang sangat jarang dan andaikan ada pun sering tidak dalam kondisi dapat digunakan. Alat itupun rata-rata hanya mampu melaporkan sintesis 3 senyawa sederhana. Sehingga peran komputer dalam hal ini bagi negara berkembang, khususnya di Indonesia dapat dioptimalkan.

Ada dua metode dalam kimia komputasi yang saling melengkapi dalam penggunaan komputer sebagai alat bantu penemuan obat, yaitu:
a. Berdasarkan senyawa yang diketahui berikatan dengan target atau biasa disebut ligan, ligand-based drug designi ( LBDD ). LBDD memanfaatkan informasi sifat fisikokimia senyawa-senyawa aktif sebagai landasan mendesain senyawa baru. Tiga metode LBDD yang lazim digunakan adalah pharmacophore discovery dan hubungan kuantitatif struktur-aktivitas atau quantative structure-activity relationship ( HKSA atau QSAR ), dan docking studies. Pharmacophore discovery yaitu metode mencari kesamaan sifat fisikokimia, antara lain sifat elektronik, hidrofobik dan sterik dari senyawa-senyawa yang dilaporkan aktif kemudian dibangun suatu bagian 3D yang menggabungkan sifat gugus-gugus maupun bagian senyawa yang diduga bertangung jawab terhadap aktivitasnya ( pharmacophore ). Adapun QSAR memadukan statistika dengan sifat fisikokimia senyawa yang dapat dikalkulasi dengan bantuan komputer guna menurunkan suatu persamaan yang dapat digunakan memprediksi aktivitas suatu senyawa. Jika persamaan QSAR telah dihasilkan maka kita dapat mendesain suatu senyawa dengan aktivitas tertentu dan memberikan prediksi tersebut pada ilmuwan sintesis untuk mensintesis senyawa tersebut.
b. Berdasarkan struktur target baik baik berupa enzim maupun reseptor yang bertanggung jawab atas toksisitas dan aktivitas suatu senyawa di dalam tubuh atau rancangan obat berdasarkan struktur target, structure-based drug design ( SBDD ). Struktur protein target dapat dimodelkan dari data yang diperoleh struktur kristalnya maupun hasil analisis nuclear magnetic resonance ( NMR ) maupun data genomic ( bioinformatics ). SBDD memanfaatkan informasi dari struktur protein target guna mencari sisi aktif protein yang berikatan dengan senyawa. Berdasarkan prediksi sisi aktif dapat dirancang senyawa yang diharapkan berikatan dengan protein target tersebut dan memiliki aktivitas biologis.

Dengan memanfaatan informasi dari struktur target maupun sifat fisikokimia ligan dapat dilakukan skrining uji interaksi senyawa-senyawa yang diketahui aktif ( ligan ) pada prediksi sisi aktif protein. Berdasarkan informasi yang diperoleh dirancang senyawa baru yang diharapkan lebih baik dari senyawa-senyawa yang ada. Hal ini juga digunakan untuk studi interaksi ligan dengan protein targetnya. Salah satu kelemahan docking studies untuk studi interaksi adalah asumsi struktur protein yang kaku, yang tidak memfasilitasi efek induced-fit dari interaksi protein dengan ligannya. Fleksibilitas protein dan interaksinya dengan suatu senyawa dapat dianalisis dengan mengaplikasikan Molecular Dynamics ( MD ), simulasi yang melihat perubahan struktur suatu senyawa terhadap waktu berdasarkan parameter-parameter tertentu.

Permasalahan utama untuk pemanfaatan komputer ini adalah keberadaan aplikasi kimia komputasi yang memadai dan lengkap. Salah satu aplikasi kimia komputasi yang cukup memadai untuk penemuan obat adalah Molecular Operating Environment ( MOE ) yang dikembangkan Chemical Computing Group. MOE selain menawarkan fasilitas yang cukup lengkap juga user-friendly sehingga cocok digunakan dalam pembelajaran. Hanya saja aplikasi kimia komputasi yang user-friendly biasanya mahal sehingga alasan efisiensi biaya tidak lagi relevan. Sebagai informasi, biaya lisensi untuk penggunaan akademis ( non komersial ) sekitar US$ 2000 pertahun. Namun demikian di era keterbukaan ini semakin banyak aplikasi-aplikasi kimia komputasi berbasis open source maupun yang menawarkan free academic license ( Geldenhuys dkk., 2006 ). Hanya saja aplikasi-aplikasi tersebut seringkali tidak user-friendly dan untuk memanfaatkannya dibutuhkan kemampuan komputer yang lebih bagus, seperti menguasai LINUX-based operating system dan command line editor bawaan masing-masing aplikasi. Selain tidak user-friendly, aplikasi-aplikasi tersebut seringkali fokus pada satu topik sehingga tidak cukup lengkap digunakan secara komprehensif.

Dengan berbagai data sintesis dan uji aktivitas yang telah dilakukan banyak peneliti yang telah dipublikasikan baik di Indonesia maupun internasional serta data struktur protein yang dapat mudah diakses, berpartisipasi dalam penemuan obat secara efektif dan efisien dengan memanfaatkan CADD merupakan salah satu peluang yang layak dipertimbangkan untuk ditekuni lebih lanjut.


sumber : http://tegarsulistyo.blogspot.com/2009/05/sinergi-kimia-komputasi-terhadap-riset.html
Daftar Pustaka
DiMasi, J.A., et al (2003) The price of innovation: new estimates of drug development costs. J. Health. Econ., 22, 151-185
Geldenhuys, W,J., et al (2006) Optimizing the use of open-source software applications in drug discovery. DDT, 11 (3/4), 127-132
Pranowo, Harno .D, 2004, Kimia Komputasi, Pusat Kimia Komputasi Indonesia- Austria UGM : Yogyakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar